Layana LogoDitulis oleh Layana Admin | Diposting tanggal 06 Maret 2023

Dibalik Layar Software House, Perusahaan IT Bagaimana Bertahan Hidup

BerandaArtikelBisnisDibalik Layar Software House, Perus...
Dibalik Layar Software House, Perusahaan IT Bagaimana Bertahan Hidup

Jika kita melihat harga pembuatan software baik website maupun mobile, angkanya pasti menyentuh hampir atau bahkan sampai tiga digit. Memang harganya bervariasi tergantung kelengkapan fitur, teknologi yang digunakan, dan masih banyak lagi.

Yang jelas, pembuatan sebuah software membutuhkan biaya yang nggak main-main. Dikarenakan hal ini pula pekerjaan seputar pengembangan software menjadi sangat prestisius. Dengan fakta ini, maka banyak orang yang mulai membangun software house dengan harapan mendapat keuntungan dari industri ini.

Sayangnya begitu sudah masuk ke dunia software house, ternyata ada jalan yang sangat sulit untuk dilewati, sehingga banyak software house yang berguguran hanya dalam beberapa tahun. Kenapa hal itu bisa terjadi? Mari kita bahas.

Ada Apa dengan Softwarehouse?

Ada beberapa anak muda berkumpul. Masing-masing dari mereka jago coding. Masing-masing menguasai teknologi terkini. Atau bahkan sudah berpengalaman membangun proyek sejak kuliah. Suatu hari, mereka berpikir untuk bersama-sama menggabungkan sumber daya.

Konsepnya sederhana. Ada proyek masuk, mereka kerjakan bersama, lalu hasilnya dibagi berdasarkan kesepakatan. Saat ada proyek, mereka mendapat uang, dan saat tidak ada proyek, mereka tidak dapat uang. Setidaknya, jika tidak ada proyek masuk, mereka tidak harus mengeluarkan uang untuk menggaji karyawan, sewa kantor, listrik, maupun biaya lainnya.

Nah, itulah perbedaan antara programmer freelance yang menggabungkan resource dengan sebuah software house. Sebuah software house, baik ada proyek maupun tidak ada proyek, harus mengeluarkan uang untuk membayar karyawan setiap bulannya. Harus membayar sewa kantor. Harus membayar layanan internet. Dan yang tidak kalah penting tentu saja membayar biaya promosi.

Mengatur antara mencari proyek baru, mengerjakan proyek, dan menggaji programmer, semua itu sepertinya tampak mudah untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya banyak software house yang gagal melakukan semua itu.

Saat sebuah project diterima oleh software house, maka akan dikalkulasikan biaya sekaligus timeline pengerjaan. Banyaknya fitur dari sebuah website atau aplikasi yang dikerjakan mempengaruhi lama waktu pengerjaan. Semakin lama waktu pengerjaan, maka akan semakin besar juga biaya yang dibutuhkan.

Atau, bisa juga waktu pengerjaan dipangkas, akan tetapi orang yang terlibat dalam pengembangan harus ditambah. Artinya, biaya yang dibutuhkan juga semakin besar.

Nah, entah waktu pengerjaan yang lebih lama, ataupun melibatkan lebih banyak orang pada proses pengerjaan, keduanya memiliki masalah serupa. Yaitu, beban gaji yang ditanggung software house.

Dari total biaya proyek memang sudah termasuk gaji tim yang terlibat. Masalahnya klien hanya akan membayar setelah proyek selesai, atau dalam beberapa kasus bisa juga dibayar dengan sistem termin. Tetapi itu artinya, pihak software house harus menanggung beban gaji karyawan sampai klien melakukan pembayaran. Dan jika terjadi sedikit saja miss pada proses pembayaran, maka cashflow perusahaan akan berantakan.

Jebakan Cashflow

Kita asumsikan begini:

Sebuah proyek pembuatan software memiliki nilai sebesar dua ratus juta rupiah dengan estimasi pengerjaan sekitar empat bulan. Per satu proyek, dibutuhkan setidaknya satu project manager, satu UI UX Designer, satu Front End programmer, satu back end programmer, dan satu QA Tester. Estimasi pengeluaran untuk menggaji tim yang terlibat dalam satu bulannya bisa mencapai tiga puluh juta rupiah atau bahkan lebih.

Apabila waktu pengerjaan proyek adalah sekitar empat bulan, maka total yang harus dikeluarkan software house selama pengembangan adalah sekitar seratus dua puluh juta rupiah.

Nah, dengan asumsi proyek tersebut dibayar uang muka maksimal sebesar lima puluh persen di awal, yang artinya adalah seratus juta rupiah, maka pihak software house masih harus menambah dua puluh juta lagi agar gaji tim yang terlibat bisa mencukupi.

Karena itulah biasanya disepakati untuk dilakukan pembayaran dengan cara termin beberapa kali, semata-mata agar pihak software house bisa membayar gaji tim yang terlibat. Hal itu akan menjadi masalah besar apabila terjadi penundaan pembayaran atau bahkan gagal bayar dari pihak klien. Artinya, pihak Software house harus menanggung beban gaji tim yang terlibat lebih banyak lagi. Apakah hal seperti itu sering terjadi? Jawabannya adalah tentu saja.

Ada tiga pilihan jika hal tersebut sampai terjadi. Pertama, proyek dihentikan karena software house tidak bisa membayar programmer. Kedua, seperti yang dibahas tadi, yaitu pihak software house harus menanggung beban gaji programmer selama proses pengembangan. Dan ketika, software house harus mencari sumber penghasilan tambahan untuk membayar gaji programmer. Dan cara ketiga itu tentu saja dengan mencari proyek lain untuk dikerjakan.

Harapannya adalah dengan uang muka yang dibayarkan dari proyek baru, maka pihak software house bisa membayar gaji para programmernya. Apabila ternyata ada permasalahan pembayaran dari proyek yang baru tadi, maka sudah pasti pihak software house akan mencari proyek lain untuk menambal biaya gaji para programmer.

Pihak software house harus sangat pandai dalam mengatur cashflow perusahaan. Harus ada invoice masuk setiap bulannya sejumlah dengan beban yang ditanggung oleh software house. Sedikit saja terjadi miss dalam kalkulasi, maka pilihannya hanya proyek terhenti sepenuhnya, atau owner software house harus menanggung beban pengeluaran dengan uang pribadi.

Permasalahan klien yang menunda pembayaran memang sudah menjadi hal klasik. Alasannya bisa berbagai macam. Karena itulah, kemampuan software house menahan beban operasional, sampai klien melakukan pembayaran, akan menentukan seberapa lama software house bertahan.

Paradox Pengembangan Software

Ada masalah lain yang tak kalah serius dibandingkan jebakan cashflow, yaitu tentang paradox pengembangan software. Masalah ini adalah terkait dengan kemampuan sebuah software house menangani berapa banyak proyek yang bisa dikerjakan.

Seperti yang sudah kita bahas di awal, untuk mengamankan cashflow, maka software house harus terus mencari proyek. Di satu sisi, memang itu menjadi solusi atas permasalahan uang. Tapi di sisi lain, hal ini juga menjadi masalah serius karena beban kerja programmer juga akan bertambah.

Jika beban kerja bertambah, maka kemampuan programmer mengerjakan masing-masing proyek juga berkurang. Jika kemampuan programmer berkurang, maka proses pengerjaan juga akan lebih lama. Jika proses pengerjaan semakin lama, maka pihak software house akan membutuhkan biaya yang lebih banyak karena harus menggaji programmer sampai proyek itu selesai.

Artinya ada masalah terkait seberapa berat beban yang bisa ditanggung programmer. Masalah ini bisa diatasi dengan cara lain, yaitu menambah jumlah tim yang terlibat. Masalahnya adalah mencari programmer yang cocok dengan tim itu tidaklah mudah. Belum lagi, jika menambah programmer, itu artinya bertambah pula beban gaji yang harus ditanggung pihak softaware house.

Belum lagi jika sebuah proyek sudah selesai dan belum ada proyek baru yang masuk, artinya akan ada beberapa programmer yang tidak melakukan apa-apa. Pihak softaware house harus menanggung gaji dari programmer yang tidak mendapat tugas tersebut.

Di situlah paradox terjadi. Pihak software house harus mencari tambahan proyek untuk menanggung beban gaji karyawan. Tetapi dengan bertambahnya proyek, maka perlu juga tambahan orang yang terlibat. Dengan semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin besar pula beban gaji yang ditanggung. Karena beban gaji yang ditanggung bertambah, maka harus mencari proyek lain untuk dikerjakan. Dan hal itu dilakukan terus menerus tanpa memiliki akhir.

Di situ pula kelihaian manager operasional di sebuah seoftaware house teruji. Seorang manager operasional harus bisa mengetahui dan membagi load pekerjaan dari setiap programmer yang ada.

Atau, ada juga solusi lain yang bisa diambil software house. Cara itu adalah dengan merekrut programmer freelance. Pihak software house bisa membuat kontrak per proyek dengan freelancer sehingga tidak perlu memikirkan gaji mereka begitu proyek selesai. Tetapi tidak bisa dipungkiri kalau merekrut freelancer juga bukanlah perkara mudah. Masalah paling utama adalah software house memerlukan waktu yang lama untuk menemukan freelancer yang cocok dengan project yang ada. Semakin lama mencari freelancer, maka tenggat waktu pengerjaan proyek juga semakin dekat.

Nah, bagi perusahaan yang membutuhkan jasa dedicated programmer untuk pengembangan aplikasi, layana id telah menambahkan layanan IT Outsourcing, di mana kami siap menyediakan tim IT terbaik dan secara khusus akan bekerja selayaknya tim internal perusahaan Anda. Hubungi kami di layana.id untuk informasi lebih lanjut.

Bagikan
Cek Estimasi